SHARE
Facebook
Twitter
Sabrun Jamil Amperawan, Ketua Asosiasi Trader Gas Alam Indonesia (INGTA)

Jakarta, Geoenergi – Pembangunan jaringan distribusi dan infrastuktur gas bumi di Indonesia membutuhkan investasi sangat besar. Sementara tingkat pengembalian investasinya tergolong kecil sehingga kurang diminati oleh investor maupun perusahaan swasta. Padahal, ketersediaan infrastruktur gas selama ini menjadi masalah utama penyerapan gas di dalam negeri.

Ketua Asosiasi  Trader Gas Alam  Indonesia (INGTA) Sabrun Jamil Amperawan yang jadi pembicara  di acara “The 40th IPA Convention and Exhibition” di Jakarta, Kamis (26/5), menyatakan tingkat pengembalian investasi pembangunan infrastruktur gas sebesar 20 persen merupakan batasan wajar dalam berinvestasi.

Dia melanjutkan bahwa Pemerintah memang berharap pihak swasta membantu pembangunan jaringan pipa dan terminal penerimaan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk menyerap gas di dalam negeri. Selain itu, pemerintah pada tahun ini berencana menambah pipa yang dapat digunakan secara bersama menjadi 6.153 kilometer (km), dari sebelumnya 4.165 km. Tidak hanya itu, pemerintah akan menambah pipa khusus untuk hilir meningkat dari 4.337 km menjadi 9.177 km.

Sementara itu, sambungnya pula Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 06 tahun 2016 tentang tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi yang diterbitkan Februari lalu, mewajibkan badan usaha yang mendapatkan alokasi gas bumi memiliki atau menguasai infrastruktur fasilitas penyaluran dan penggunaan gas.

Meski begitu, pemerintah memberikan tenggang waktu kepada para badan usaha yang belum memiliki infrastruktur gas untuk membangunnya. Alternatifnya membangun pipa bersama. Misalnya, jika dalam satu pipa sepanjang 10 km ada lima badan usaha yang memanfaatkan itu, maka lebih baik kelima badan usaha tersebut bekerjasama membangun jaringan pipa gas. Dengan begitu biaya yang dikeluarkan akan lebih murah.

Selain soal infrastruktur gas, pemerintah memperbaiki tata kelola gas dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2016 tentang ketetapan harga gas bumi. Sabrun mengungkapkan pemerintah jangan hanya memikirkan pembangunan infrastruktur gas tetapi pikirkan juga stok gas yang ada. “Percuma saja infrstruktur ada tapi gas atau pembeli tidak ada. Selain itu, persoalan penurunan harga gas tidak lebih dari US$ 1 karena penurunan harga gas tidak dibarengi juga dengan turunnya biaya distribusi,” katanya.

Menurut Sabrun, lonjakan harga gas selama ini di beberapa daerah memang membuat para pedagang gas kehilangan konsumennya. Tahun lalu, rata-rata penurunan konsumen para anggota INGTA mencapai 20-30 persen.

DitambahkanSabrun juga Pemerintah  memberikan harga khusus gas pada SPBG, tetapi swasta tidak diberikan harga khusus itu. Kalau pihak swasta diberikan harga khusus juga, dapat dipastikan sudah banyak pengusaha swasta yang akan mendirikan SPBG di Indonesia ini. (Pam)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY