SHARE
Facebook
Twitter
foto: Pam

Jakarta, Geoenergi – Perbaikan tata kelola gas menjadi salah satu komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan nasional. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja mengatakan, perbaikan tata kelola meliputi perbaikan regulasi untuk kenyamanan iklim investasi sehingga mendorong pengembangan infrastruktur gas.

Wiratmadja mengatakan, bukti komitmen pemerintah terhadap pengembangan sektor gas adalah dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 Tentang Penetapan Harga Gas yang mulai berlaku pada 10 Mei lalu. Dalam Perpres tersebut, porsi bagi hasil pemerintah dikurangi, yang tujuannya menstimulasi usaha hilir tanpa membebani usaha di sektor hulu.

“Kementerian ESDM masih menyusun turunan Perpres tersebut. Nantinya diharapkan dapat menggerakkan perekonomian dalam skala lebih besar, meski penerimaan negara berkurang,” ujar Wiratmadja saat menjadi pembicara dalam diskusi pleno III bertajuk “Gas Governance in Supporting the Acceleration of Indonesia Economic Development” di The 40th IPA Convention and Exhibition yang berlangsung di Jakarta Convention Center, 26 Mei 2016.

pak sabrun

Menurut Wiratmadja, kebijakan tersebut sejalan dengan semangat menjadikan sektor minyak dan gas sebagai industri yang memiliki multiplier effect dan menggerakkan sektor ekonomi lainnya. Oleh sebab itu, pemerintah berkepentingan menciptakan ekosistem yang kondusif untuk pengembangan sektor tersebut.

Sementara itu menurut Sabrun Jamil Amperawan, Ketua Indonesia Natural Gas Trader Association (INGTA) pemerintah jangan hanya memikirkan pembangunan infrastruktur gas tetapi pikirkan juga stok gas yang ada. Percuma saja infrstruktur ada tapi gas atau pembeli tidak ada. Selain itu, persoalan penurunan harga gas tidak lebih dari US$ 1 karena penurunan harga gas tidak dibarengi juga dengan turunnya biaya distribusi.

Sabrun juga mengungkapkan Pemerintah  memberikan harga khusus gas pada SPBG, tetapi swasta tidak diberikan harga khusus itu. Kalau pihak swasta diberikan harga khusus juga, dapat dipastikan sudah banyak pengusaha swasta yang akan mendirikan SPBG di Indonesia ini.

Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis  Perusahaan Gas Negara (PGN), Muhammad Wahid Sutopo, mengatakan, paradigma pemanfaatan sektor energi sebagai penggerak ekonomi dapat dilakukan dengan mendahulukan gas sebagai sumber energi nasional. Namun pemerintah harus memberikan konsep yang matang dalam menyiapkan pokok-pokok tata kelola gas bumi nasional.

Oleh sebab itu, Wahid melanjutkan, PGN mendukung rencana pemerintah merealisasikan Badan Penyangga Gas. Dalam hal ini terdapat tiga pendekatan portofolio yang perlu disiapkan pemerintah yakni gambaran dari sisi pasokan dan pengaturan sumber, kesiapan infrastruktur dan transportasi gas, serta roadmap pemerintah dalam menyiapkan permintaan yang berkelanjutan.

Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur dan Bali Perusahaan Listrik Negara (PLN), Amin Subekti, mengatakan, porsi gas cukup dominan dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik 35 GW. Gas memasok 35 persen dari total bauran energi program tersebut.

Meski begitu ada kendala yang dihadapi PLN, yakni pasokan yang akan mengalami defisit. Tahun depan, PLN diperkirakan defisit 118 BBTUD dan meningkat menjadi 1.100 BBTUD pada 2019. Tiga lokasi yang terkena defisit tersebut adalah Jawa bagian barat, Jawa bagian timur, dan Bali. Dia menyebutkan, tiga tantangan yang dihadapi PLN dalam memenuhi pasokan gas adalah  ketidakjelasan kontrak pembelian dari operator yang akan habis masa PSC-nya, tidak adanya jaminan pasokan, dan mahalnya harga jual ke PLN.

Padahal, gas akan menjadi penyelamat program pembangkit listrik 35 GW. Ketua Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional, Agung Wicaksono mencontohkan PLTG Gorontalo yang berkapasitas 100 MW sudah bisa beroperasi hanya dalam enam bulan. PLTG tersebut merupakan pembangkit listrik pertama dalam program 35 GW yang sudah beroperasi. (Pam)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY