SHARE
Facebook
Twitter
foto: Ri

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara saat menjadi pembicara di seminar “Menyoal Rencana Akuisisi PGE oleh PLN” di Gedung Nusantara V Komplek MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Kamis (15/09) mengungkapkan bahwa pemerintah beralasan akuisisi PGE dan PLN bertujuan agar terjadi sinergitas kekuatan hulu dan hilir di bidang usaha panas bumi tidaklah tepat. Marwan menegaskan PGE dan PLN harus tetap berada di jalur bisnisnya masing-masing.

“Menurut UU No. 22 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, kedua sektor hulu dan hilir tersebut terpisah dalam rezim pengusahaan panas bumi dan rezim pengusahaan ketenagalistrikan,” ujar Marwan.

Bisnis PGE hanyalah di hulu, yakni membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan PGE pun tidak berniat berbisnis di sektor hilir. Jadi, akan lebih relevan bila PGE tetap sebagai unit usaha Pertamina yang selama ini berpengalaman di sektor hulu, dibanding berada di bawah PLN yang bisnisnya berada di hilir.

Mengenai adanya pendapat jika akuisisi supaya harga uap panas bumi lebih murah perlu ada pengujian dan penganalisisan mendalam, imbuh Marwan. Harga jual listrik PGE ke PLN pada 5 PLTP (Kamojang, Karaha, Lahendong, Ulubelu dan Lumutbalai) yang mayoritas kapasitasnya antara 30-55 MW, berkisar US$ 8,4-11,60 sen per kWh.

“Sementara pemerintah justru setuju membeli listrik PLTP Muara Laboh di Sumatera Barat dari Supreme Energy US$ 13,4 sen per kWh. Padahal harga listrik tertinggi wilayah I PGE dengan PLN hanyalah US$ 11,6 sen per kWh,” ujar Marwan.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY